Fenomena Komunitas Gay di Kediri: Antara Realita Digital dan Tantangan Moral

 

panjalu.online -Laporan utama yang dipublikasikan dalam edisi Minggu (8/6) surat kabar ini, mengulas secara mendalam dinamika kehidupan kaum homoseksual di wilayah Kediri dan sekitarnya. Fakta ini menyentak kesadaran kita semua, betapa komunitas ini telah tampil semakin terbuka, meski masih dominan di ranah virtual.

Salah satu temuan yang cukup mencolok adalah keberadaan akun media sosial bernama "Gay Jaranan Kediri Nganjuk dan Sekitarnya", yang secara gamblang menampilkan aktivitas dan eksistensi kelompok tersebut. Tercatat, akun ini memiliki sekitar 3.500 pengikut, yang menandakan adanya komunitas cukup besar yang terhubung secara digital.

Yang mengundang keprihatinan, platform ini tak hanya digunakan untuk berbagi informasi, tetapi juga sebagai media pencarian pasangan dengan menggunakan istilah sandi. Contohnya, unggahan seperti "Cari T area Kandangan, Kepung, Puncu, Pare dan sekitarnya" mengindikasikan aktivitas pencarian pasangan gay. Dalam konteks ini, huruf T merujuk pada peran Top atau pihak yang berperan maskulin.

Unggahan lainnya seperti "Info B U20 area Kediri Selatan" menunjukkan pencarian pasangan dengan kriteria usia dan peran tertentu, di mana B berarti Bottom, dan U20 menandakan usia di bawah 20 tahun. Hal ini tentu memunculkan kekhawatiran tersendiri, terutama dalam konteks perlindungan terhadap anak dan remaja.

Mengapa kami mengangkat isu ini ke permukaan? Setidaknya ada dua alasan utama. Pertama, sebagaimana dijelaskan oleh McQuail dalam bukunya Mass Communication Theories, media massa memiliki fungsi sebagai jendela informasi—memungkinkan publik memahami berbagai dinamika sosial yang tengah berlangsung. Realitas kehidupan kaum gay di Kediri merupakan bagian dari masyarakat kita saat ini, yang patut untuk dicermati secara objektif.

Kedua, kami berharap liputan ini menjadi bahan pertimbangan bagi para pemangku kepentingan—baik aparat penegak norma, tokoh masyarakat, hingga keluarga—untuk mengambil langkah preventif. Peran keluarga sangat vital dalam membina dan menjaga anak-anak, khususnya remaja laki-laki, dari pengaruh gaya hidup yang tidak sejalan dengan norma agama dan budaya bangsa.

Perlu diketahui bahwa sejak 1990, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah mengeluarkan homoseksualitas dari daftar gangguan mental atau kejiwaan. Berdasarkan klasifikasi ICD-10, orientasi seksual tidak dianggap sebagai penyakit atau kelainan medis. Dengan pendekatan ini, WHO menilai bahwa menjadi gay bukanlah sesuatu yang berbahaya dalam konteks kesehatan fisik.

Namun di sinilah letak persoalan yang krusial. Pendekatan yang semata-mata biologis dan ilmiah dari WHO ini, tidak mempertimbangkan dimensi sosial, ideologis, dan spiritual yang juga sangat penting dalam masyarakat, khususnya dalam konteks keimanan umat Islam dan agama-agama samawi lainnya. Dalam ajaran Islam, perilaku homoseksual jelas-jelas termasuk dalam kategori perbuatan yang dilaknat.

Karena itu, peran lembaga keagamaan—baik formal seperti Kementerian Agama, maupun non-formal melalui ormas keagamaan—sangat dibutuhkan untuk memberikan edukasi, pencerahan, dan benteng moral kepada generasi muda.

Mencegah meluasnya pengaruh gaya hidup LGBT dan membangun ketahanan moral anak bangsa harus menjadi bagian dari indikator kinerja utama (KPI) lembaga-lembaga keagamaan. Lebih dari sekadar isu sosial, ini adalah persoalan nilai dan masa depan generasi.(red.a)

Post a Comment

Previous Post Next Post