Kesetaraan Gender Bukan Sekadar Tuntutan Hak, Tapi Kesiapan Menjalani Tanggung Jawab Bersama

    


panjalu.online -Perjuangan menuju keadilan gender di masyarakat kerap kali dihadapkan pada ketimpangan yang tidak kasat mata—yakni ketika hak-hak dituntut, namun tanggung jawab yang menyertainya tidak disertai dengan kesiapan yang seimbang.

Ini bukan tentang siapa yang lebih kuat atau siapa yang lebih pantas, melainkan tentang konsistensi dalam menerapkan prinsip kesetaraan secara menyeluruh dan adil. Persoalannya bukan soal jenis kelamin, tetapi tentang bagaimana kita memaknai peran dan beban secara bersama.

Akar dari ketidakseimbangan ini bersumber dari budaya patriarki yang telah lama melekat dalam struktur sosial kita. Patriarki meletakkan batas-batas peran berdasarkan jenis kelamin, seperti anggapan bahwa laki-laki harus menjadi tulang punggung keluarga dan perempuan bertanggung jawab penuh dalam urusan rumah tangga.

Stereotip semacam ini akhirnya menciptakan peran yang tidak fleksibel, membuat individu cenderung menjalani kehidupan sesuai harapan masyarakat, bukan berdasarkan potensi pribadi. Akibatnya, banyak yang memilih zona aman, menyesuaikan diri dengan ekspektasi umum alih-alih mengejar peran sesuai minat dan kapasitas.

Kesetaraan sejati bukan sekadar memberikan akses dan hak yang setara kepada semua gender, tetapi juga memastikan adanya distribusi tanggung jawab yang adil. Jika seseorang menginginkan hak yang dulu hanya dinikmati oleh gender lain, maka ia juga harus bersedia memikul beban yang dulu ditanggung oleh gender tersebut.

Contoh konkrit terlihat dalam hubungan rumah tangga. Misalnya, ketika pembagian keuangan dilakukan secara adil (50:50), namun tetap saja ada ekspektasi bahwa pihak laki-laki yang harus melakukan pekerjaan berat—seperti memperbaiki rumah, mengangkat galon, atau servis kendaraan. Sebaliknya, perempuan masih sering kali dibebankan sepenuhnya pada urusan domestik tanpa keterlibatan pasangan.

Di lingkungan kerja, masalah serupa muncul. Beberapa perempuan menuntut posisi dan gaji yang setara, namun enggan menerima tantangan lembur atau tanggung jawab besar dengan alasan bukan tugasnya. Sementara laki-laki yang ingin cuti untuk mengasuh anak, sering tidak bersedia mengambil peran aktif di rumah atau mengurangi beban kerja.

Kesetaraan yang adil harus dibangun dengan prinsip timbal balik. Jika seorang perempuan ingin maju sebagai pemimpin, maka ia juga harus siap menanggung tekanan, risiko, dan tekanan publik yang melekat dalam kepemimpinan. Jika laki-laki ingin menjadi pribadi yang emosional dan terbuka, maka lingkungan—termasuk perempuan—harus berhenti memandang itu sebagai kelemahan.

Dalam pembagian tanggung jawab, diskusi terbuka sangat dibutuhkan. Tugas tidak boleh lagi dilabeli "tugas laki-laki" atau "tugas perempuan", melainkan dibagi berdasarkan kemampuan, pengalaman, dan kesepakatan bersama. Misalnya: siapa yang lebih rapi mengatur keuangan rumah? Siapa yang lebih cekatan dalam memperbaiki kerusakan di rumah?

Kesadaran diri juga menjadi kunci. Sebelum menuntut hak, tanyakan pada diri sendiri: Apakah saya siap dengan beban yang menyertainya? Jika menuntut gaji setara, apakah juga bersedia menerima beban kerja dan tanggung jawab yang serupa?

Penting pula untuk memulai perubahan ini sejak dini. Anak-anak perlu diajarkan bahwa tidak ada pekerjaan yang hanya cocok untuk laki-laki atau perempuan. Anak laki-laki perlu diajari mengurus rumah, dan anak perempuan perlu diberi ruang untuk berani memimpin dan berpikir strategis.

Dengan pola pikir dan pendekatan seperti ini, perjuangan menuju kesetaraan gender tidak hanya berhenti pada tuntutan sepihak, tapi benar-benar menghasilkan sistem yang adil dan berkelanjutan bagi semua. Karena pada akhirnya, keadilan bukan soal mengganti dominasi, melainkan membangun kehidupan bersama yang saling menopang.(red.a)

Post a Comment

Previous Post Next Post