SURABAYA, panjalu.online – Di balik feed Instagram yang penuh estetika dan unggahan sempurna, para mahasiswa Generasi Z ternyata menyimpan sisi lain dari kehidupan digital mereka—yakni lewat second account. Fenomena ini bukan sekadar tren, tapi telah menjadi ruang personal yang menyimpan banyak cerita, keresahan, hingga ekspresi jujur yang tak muncul di akun utama.
Bagi mahasiswa Informatika Universitas Pembangunan Nasional Veteran Jawa Timur, second account merupakan bagian penting dari keseharian digital. Di tengah tekanan akademik, tuntutan sosial, dan ekspektasi dunia maya yang sering tidak realistis, akun kedua menjadi tempat ‘bernafas’ di dunia virtual.
“Kalau akun utama biasanya dijaga supaya terlihat profesional dan rapi, second account justru sebaliknya—lebih santai, spontan, dan terasa lebih manusiawi,” ujar salah satu mahasiswa semester 6 yang aktif mengamati perilaku digital teman-temannya.
Di second account, unggahan tidak harus sempurna. Foto blur, caption curhat, atau lelucon internal yang hanya dipahami lingkaran dekat menjadi konten utama. Akun ini cenderung bersifat privat dan hanya diikuti oleh teman-teman dekat, menciptakan suasana komunikasi yang lebih intim dan otentik.
Menariknya, bukan hanya sebagai ruang pelarian, second account justru menjadi alat ekspresi yang sehat. Banyak mahasiswa menggunakannya untuk bereksperimen—entah itu dalam bentuk ilustrasi, puisi, kritik sosial, hingga konten video sederhana. Tanpa tekanan “takut dinilai”, mereka merasa lebih bebas untuk mencoba hal-hal baru.
“Bisa dibilang second account itu seperti laboratorium pribadi. Tempat kita bisa salah, mencoba, refleksi, dan tumbuh tanpa perlu khawatir dilihat orang banyak,” tambahnya.
Fenomena ini merefleksikan kebutuhan Generasi Z akan ruang aman secara digital—sebuah ruang yang tak hanya menjadi wadah komunikasi, tapi juga pemeliharaan kesehatan mental. Di tengah dominasi algoritma dan tuntutan eksistensi di media sosial, second account menjadi bentuk kontrol personal terhadap citra diri.
Pakar media sosial menyebut fenomena ini sebagai bentuk digital intimacy, di mana interaksi yang terjadi lebih tulus karena tidak dibungkus pencitraan. Di sisi lain, ini juga menunjukkan bagaimana media sosial telah berkembang menjadi ekosistem yang kompleks, di mana pengguna tidak hanya tampil, tetapi juga membangun ruang-ruang eksklusif untuk menyembunyikan sisi rentan mereka.
Dengan semakin berkembangnya kesadaran akan pentingnya digital well-being, second account menunjukkan bahwa generasi muda bukan hanya konsumen teknologi pasif. Mereka justru aktif menciptakan strategi adaptif dalam menghadapi tekanan era digital.(red.al)
Post a Comment