Flare di Tribun: Antara Euforia Suporter dan Ancaman Keselamatan Publik

 


KEDIRI, panjalu.online Dalam dunia sepak bola, atmosfer panas di stadion kerap menjadi bagian dari daya tarik pertandingan. Salah satu elemen yang sering muncul untuk mendongkrak semangat adalah flare — benda yang memancarkan cahaya terang disertai asap tebal. Meski memperkuat kesan dramatis di tribun penonton, keberadaan flare sejatinya menyimpan risiko serius.

Fenomena flare bukan hanya ditemukan di stadion-stadion Indonesia. Di belahan dunia lain, seperti Eropa dan Amerika Latin, flare telah menjadi semacam simbol dukungan militan terhadap tim kesayangan. Biasanya dinyalakan secara serempak dengan koreografi visual yang menghipnotis. Namun di balik kemeriahan tersebut, terselip potensi bahaya yang tidak bisa diabaikan.

“Bagi suporter, flare adalah simbol semangat, solidaritas, bahkan intimidasi terhadap tim lawan. Namun perlu disadari, ini bukan sekadar mainan visual, tetapi benda yang bisa membahayakan jiwa,” ujar salah satu pengamat sepak bola nasional.

Tak jarang, flare dijadikan senjata psywar terhadap lawan. Warna merah menyala menciptakan kesan "stadion neraka", memperkuat tekanan mental tim tamu. Namun kenyataannya, penggunaan flare bisa menimbulkan sejumlah risiko mulai dari luka bakar hingga kerusakan fasilitas stadion.

Flare menghasilkan suhu panas yang dapat mencapai ratusan derajat celcius. Bila bersentuhan langsung dengan kulit, risiko luka bakar sangat tinggi. Bahkan, flare yang dilempar sembarangan dapat memicu kebakaran, mengingat banyak elemen stadion seperti kursi dan papan reklame bersifat mudah terbakar.

Lebih dari itu, asap tebal yang dihasilkan flare mengandung bahan kimia berbahaya. Bila terhirup dalam jumlah besar, dapat menimbulkan gangguan pernapasan akut, terutama bagi anak-anak, lansia, atau penonton dengan penyakit bawaan.

Berdasarkan regulasi resmi FIFA melalui Stadium Safety and Security Regulations dan Laws of the Game, penggunaan flare di stadion dilarang keras. Tujuannya jelas: untuk menjamin keselamatan seluruh pihak yang terlibat dalam pertandingan — pemain, ofisial, dan penonton.

Larangan ini juga diadopsi oleh PSSI. Melalui Komite Disiplin (Komdis), PSSI memberi sanksi tegas terhadap klub-klub yang tidak bisa mengontrol suporternya. Dendanya tidak kecil. Bahkan bisa mencapai ratusan juta rupiah.

Namun realitanya, pelarangan dan ancaman hukuman tidak serta-merta membuat jera. Di penghujung musim Liga 1 2024/2025 lalu, insiden flare kembali mencuat di berbagai stadion. Bahkan di beberapa pertandingan, flare dinyalakan saat laga masih berlangsung.

Insiden paling disorot terjadi pada laga PSS Sleman vs Persija Jakarta di Stadion Maguwoharjo, Sleman, 17 Mei lalu. Pertandingan harus dihentikan selama hampir 20 menit karena lapangan diselimuti asap pekat dari flare.

Komdis PSSI bertindak cepat. Panitia pelaksana pertandingan PSS dijatuhi denda sebesar Rp270 juta. Namun bukan hanya PSS yang terseret. Dalam waktu berdekatan, tim-tim lain juga ikut kena sanksi akibat aksi flare suporter mereka, termasuk Bali United FC, Persita Tangerang, Persib Bandung, PSBS Biak, dan Persebaya Surabaya.

Dengan makin banyaknya kejadian serupa, PSSI kini ditantang untuk tidak hanya memberi hukuman, tapi juga mengedukasi suporter soal bahaya penggunaan flare.

Suasana penuh gairah di tribun memang menjadi bagian dari hiburan sepak bola. Namun jangan sampai euforia berlebihan justru mengorbankan keselamatan. Mendukung dengan semangat tinggi tidak harus dengan cara yang membahayakan diri sendiri dan orang lain.(red.a)

Post a Comment

Previous Post Next Post