Kediri, panjalu.online – Upaya mengurangi limbah plastik sekali pakai di Kota Kediri melalui Peraturan Wali Kota (Perwali) No. 30 Tahun 2023 ternyata masih menghadapi sejumlah hambatan. Salah satu tantangan utama adalah kurangnya pemahaman masyarakat terhadap aturan tersebut.
Hal ini terungkap dari hasil survei yang dilakukan oleh sejumlah organisasi peduli lingkungan, seperti Diet Plastik Indonesia, Ecoton, Yayasan Hijau Daun Mandiri, Forum Kali Brantas, dan Dinas Lingkungan Hidup, Kebersihan, dan Pertamanan (DLHKP) Kota Kediri. Survei itu dilaksanakan pada 27 April hingga 19 Mei 2024 dengan melibatkan 711 responden dari seluruh kelurahan di wilayah kota.
Dari hasil survei, diketahui bahwa hanya sekitar 48,4 persen warga yang menyatakan telah mengetahui keberadaan dan isi peraturan tersebut. Fakta ini menunjukkan perlunya edukasi dan publikasi yang lebih luas kepada masyarakat agar kesadaran terhadap isu plastik sekali pakai bisa merata.
Penurunan Konsumsi Plastik, Meski Banyak yang Belum Tahu
Meski tingkat kesadaran masih rendah, data menunjukkan adanya penurunan konsumsi plastik sekali pakai di tingkat rumah tangga. Sebagai contoh, sebelum perwali diberlakukan, penggunaan kantong kresek masih mencapai angka 100 persen. Namun setelah kebijakan mulai diterapkan, angka tersebut turun menjadi sekitar 58 persen.
Penurunan ini sebagian besar didorong oleh peran ruang-ruang publik yang telah menjalankan aturan tersebut. Banyak restoran dan toko modern mulai memberlakukan kebijakan tanpa plastik, serta memasang informasi visual seperti brosur atau stiker di area kasir.
“Ketika tempat-tempat umum menerapkan pembatasan, masyarakat mulai menyadari aturan ini. Mereka akhirnya terbiasa membawa tas belanja sendiri,” ungkap salah satu aktivis lingkungan.
Hambatan dalam Implementasi: Kebiasaan dan Faktor Ekonomi
Namun demikian, penerapan aturan ini di lapangan belum optimal. Berdasarkan survei, terdapat beberapa kendala yang kerap dihadapi masyarakat, antara lain:
Lupa atau malas membawa kantong belanja sendiri
Belum memiliki alternatif tas atau wadah yang praktis
Harga produk ramah lingkungan yang masih tergolong mahal
Oleh karena itu, menurut para aktivis, pendekatan yang bersifat kultural dan edukatif perlu diperkuat, termasuk di tingkat keluarga.
"Pengenalan tentang bahaya plastik sekali pakai perlu dimulai sejak usia dini. Pendidikan di rumah melalui pola asuh akan menciptakan kebiasaan baik dan kesadaran lingkungan yang tertanam," ujar Chandra, salah satu pegiat lingkungan.
Reuse Movement: Mendorong Gaya Hidup Minim Sampah
Untuk mengurangi ketergantungan pada plastik, masyarakat didorong untuk menerapkan konsep reuse movement atau gerakan menggunakan kembali barang. Dalam pendekatan ini, dikenal dua metode utama:
Returnable: Kemasan produk dikembalikan ke produsen untuk digunakan kembali.
Refillable: Produk diisi ulang di fasilitas khusus, baik milik konsumen maupun produsen.
Konsep ini sangat cocok diterapkan dalam model bisnis seperti toko isi ulang (refill store) yang menjual produk tanpa kemasan sekali pakai. Misalnya, konsumen membawa wadah sendiri untuk membeli sabun cair, sampo, atau kebutuhan rumah tangga lainnya.
“Refillable juga bisa diterapkan di ruang publik, seperti menyediakan stasiun pengisian air minum. Warga bisa mengisi ulang botol atau tumbler mereka tanpa harus membeli air kemasan,” tambah Chandra.
Menuju Sistem Sirkular yang Berkelanjutan
Dengan semakin banyaknya inisiatif seperti ini, diharapkan Kota Kediri bisa membangun sistem pengelolaan sampah yang berkelanjutan. Langkah ini tidak hanya menekan volume sampah plastik, tetapi juga membentuk kultur zero waste di tengah masyarakat.
“Jika gerakan reuse dan refill ini semakin masif, kita bisa menciptakan sistem sirkular yang kuat. Lingkungan lebih bersih, masyarakat lebih sadar, dan industri pun terdorong untuk berinovasi,” pungkas Chandra.(red.a)
Post a Comment